Mabes Polri Akan Usut Pembuat dan Penyebar Hoaks Terkait UU Cipta Kerja
SERAMBIJAMBI.ID, JAKARTA – Mabes Polri akan mengusut pembuat dan penyebar hoaks terkait UU Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR. Sebab hoaks itu berpotensi memperkeruh keadaan dan membenturkan antar kelompok.
Hal Ini Dibenarkan Oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono saat dikonfirmasi.
“ya, akan diusut,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat dihubungi, Rabu (7/10/2020).
Ditambahkan Irjen Pol Argo, Polisi juga akan terus memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tidak mudah percaya berita sebelum cek dan ricek untuk mudah tidak terpancing.
Irjen Pol Argo Yuwono menjelaskan contoh Isu hoaks UU Ciptaker yaitu misalnya uang pesangon dihilangkan. Padahal dalam ketentuan Pasal 156 Ayat (I) UU Cipta Kerja yang telah direvisi menyebutkan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
“Isu hoaks yang lain adalah Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dalam Cipta Kerja dihilangkan. Padahal sesuai Pasal 88C beleid tersebut dijelaskan jika, gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan,” jelas Jenderal Bintang Dua Dipundaknya ini.
Hal lain yang juga hoaks adalah perusahaan dapat melakukan PHK kapan saja. Padahal perusahaan dilarang melakukan PHK kepada pekerja atau buruh dengan alasan berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
Terakhir Irjen Argo menjelaskan Sanksi hukum bagi penyebar hoax, dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.