Tidak Sampai Lima Tahun Menjabat, Pilkada 2020 Tetap Menggeliat di Medsos
Tidak Sampai Lima Tahun Menjabat, Pilkada 2020 Tetap Menggeliat di Medsos
Oleh : Ahmad Hadziq (Anggota KPU Kabupaten Tanjung Jabung Barat)
OPINI – Pasca perhelatan Pemilu serentak 17 April 2019 yang lalu, KPU secara berjenjang telah menetapkan calon terpilih. Bahkan di beberapa daerah telah melaksanakan pengambilan sumpah/janji anggota DPRD terpilih periode 2019 – 2024. Tanpa membuang waktu terlalu lama, proses demokrasi di Indonesia akan memulai episode baru yakni Pemilihan Kepala Daerah serentak. Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 menetapkan bulan September sebagai pelaksanaan pilkada serentak. Sebanyak 270 daerah akan memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota secara serentak yang oleh KPU RI ditetapkan pelaksanaannya pada tanggal 23 September 2020 sebagaimana dijelaskan dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Seiring dengan itu pula KPU RI akan melaksanakan lounching sebagai tanda awal dimulainya tahapan pada 23 September 2019 di Jakarta. 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Ada kondisi yang berbeda pada pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di bandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Jika merujuk pada regulasi saat ini yakni undang-undang nomor 10 tahun 2016 Pasal 201 ayat (7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Sedangkan pada ayat (8) Pemilihan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Dengan demikian maka Kepala Daerah hasil pemilihan 2020 dipastikan menjabat tidak sampai lima tahun. Meski demikian undang-undang nomor 8 tahun 2015 Pasal 202 menyatakan bahwa Kepala Daerah yang masa jabatannya menyisakan satu tahun sebagai akibat dari Pasal 201 tersebut akan diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
BACA JUGA : Antara Demokrasi dan Medsos, Kawan Atau Lawan ?
Masalah kompensasi tentu bukan menjadi hal yang prinsip bagi pihak yang ingin terlibat dalam kontestasi pilkada. Sama halnya dengan pemilu serentak, pilkada merupakan proses demokrasi di daerah sebagai sarana sirkulasi kepemimpinan. Yang menjadi hal prinsip adalah menjaga kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpin yang akan melanjutkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi akan kesadaran itu tampak dengan mulai maraknya pembahasan tentang bakal calon yang akan di usung meskipun tahapannya sendiri belum di mulai. Dinamika geliat pilkada yang paling nyata dapat terlihat di dunia maya melalui media sosial. Atmosfer media sosial mulai terasa dengan kemunculan tokoh-tokoh yang di anggap mampu dan layak memimpin daerah. Bahkan cenderung sudah mengarah pada adu argumen demi mengangkat citra seseorang.
Sulit untuk di pungkiri bahwa perkembangan teknologi membuat informasi semakin cepat diakses masyarakat. Bermodal smartphone dan jaringan internet masyarakat sudah bisa memantau persitiwa yang terjadi di seluruh dunia. Media sosial (medsos) telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat. Mewarnai berbagai bidang kehidupan, membentuk culture komunikasi baru tidak terkecuali komunikasi politik. Memposting dan membicarakan sesuatu di laman media sosial bukanlah hal yang aneh. Hal inilah kemudian membuat media sosial menjadi jaringan paling efektif dalam mencari informasi dan menyampaikan pendapat. Bahkan media sosial menjadi sumber yang paling cepat dalam memberikan informasi terkait kontestasi politik.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 tercatat pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 171,17 juta jiwa. Rata-rata pengguna aktif di usia 15-40 tahun. Sebanyak 93,9 % terhubung dengan internet melalui smartphone/HP setiap harinya dan 50,7 % menyatakan bahwa medsos yang paling sering digunakan adalah Facebook. Selebihnya 17,8% Instagram dan 15,1% sering mengunjungi Youtube. (www.apjii.or.id). Berdasarkan hasil suvey tersebut sehingga menjadi wajar jika medsos dijadikan alat komunikasi politik dalam setiap kontestasi. Pengguna medsos dituntut bijak dalam memanfaatkan informasi yang diterima karena meskipun aturan tentang pilkada belum bisa diterapkan namun undang-undang ITE bisa mengintai dan merugikan banyak fihak. Tidak jarang adu argumen yang terjadi di medsos sudah mengarah ke rivalitas semu. Kenapa rivalitas semu? Karena perdebatan argumen terkait dengan tokoh yang mereka citrakan sebagai calon kepala daerah justru belum secara resmi didukung oleh partai politik sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 Pasal 39 menyatakan bahwa peserta pemilihan adalah Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati dan Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan/atau Pasangan Calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 lebih lanjut menjelaskan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila sudah memenuhi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum DPRD. Sedangkan untuk calon perseorangan undang-undang mensyaratkan harus didukung oleh sejumlah orang yang dibuktikan dengan KTP elektronik sesuai alamat daerah administrasi yang bersangkutan.
Harus diakui bahwa menggeliatnya isu-isu terkait pilkada sangat terasa di media sosial. Fenomena ini kemungkinan akan terus mewarnai pada pelaksanaan pilkada serentak 2020 terutama di daerah perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna medsos. Perlu diingat bersama, bahwa media sosial hanyalah wadah komunikasi baru yang membentuk komunitas (internet citizen). Dalam konteks politik voter, komunitas ini tetap diisi oleh 3 kategori pemilih. Pertama pemilih tradisional, Kedua pemilih transaksional, dan yang Ketiga adalah pemilih rasional. Dari tiga kategori ini yang memang bisa di influence di medos adalah pemilih rasional. Harapan kita semoga saja culture komunikasi di media sosial, bisa menjadi jembatan menuju kualitas demokrasi Indonesia yang semakin baik dan sehat. Sehingga melalui perkembangan teknologi komunikasi yang semakin cepat dan canggih ini kontestasi politik mampu melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang bisa mewujudkan semua harapan rakyat.
BACA JUGA : Antara Demokrasi dan Medsos, Kawan Atau Lawan ?