dr. Lie Dharmawan Disebut “Dokter Gila” Karena Membangun Rumah Sakit dari Kapal Nelayan
SERAMBIJAMBI.ID – Pesan dari seorang ibu yang diucapkan puluhan tahun silam, terus melekat di benak dr. Lie Augustinus Dharmawan.
“Tek Bie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin. Mungkin mereka akan membayar kamu berapa pun. Tetapi diam-diam mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras.”
Kata-kata itu pula yang kemudian melandasi keputusan dokter lulusan Jerman ini untuk mengabdikan diri kepada kemanusiaan. Bekerja tanpa pamrih, bahkan tanpa berharap pembayaran sekali pun, di lokasi-lokasi terpencil di pelosok-pelosok Indonesia.
Atas kesadaran itulah Lie bersama Lisa Suroso, seorang aktivis pergerakan 1998, mendirikan doctorSHARE. Organisasi nirlaba yang juga dikenal dengan nama Yayasan Dokter Peduli ini memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan dengan tetap bekerja berdasarkan etika medis.
Bersama doctorSHARE pula, Lie mewujudkan impiannya untuk mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta bernama KM RSA dr. Lie Dharmawan. RSA inilah yang membawanya ke pelosok-pelosok di berbagai penjuru Nusantara, untuk mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis. Sekilas terdengar begitu megah, namun sebenarnya RSA hanya berupa kapal kayu sederhana.
Bagian dalam kapal ini disekat-sekat menjadi bilik untuk merawat pasien-pasien rawat inap maupun pasien pasca-operasi. Kesederhanaan inilah yang membuat Lie sering dianggap kurang waras karena berani menggunakan kapal kayu untuk mengarungi berbagai wilayah di Indonesia dengan beragam tantangannya.
Terkecil di Dunia
Meski gagasan pembuatan RSA sudah ada di benak Lie sejak 2008, namun realisasinya baru pada 2013. Maklum, sempat ada pro-kontra terhadap rencana ini. Apalagi kala itu belum ada referensi tentang rumah sakit apung yang dikelola swasta. Rumah sakit terapung yang ada adalah milik TNI Angkatan Laut. Itu pun hanya digunakan pada saat perang.
Awalnya tim doctorSHARE sulit menemukan kapal yang sesuai. Berbagai jenis kapal dikaji, namun dirasa kurang cocok jika harus menghadapi berbagai kondisi medan di pelosok Indonesia. Akhirnya diputuskan untuk memakai perahu nelayan yang sederhana dan berbahan kayu, karena dianggap lebih memadai.
Kapal ini memang kecil. Bahkan mungkin, kata Lie, rumah sakit apung terkecil di dunia. “Tapi semangat kebaikannya begitu menggebu dan tidak pernah putus asa,” tutur dokter yang memiliki empat spesialisasi bedah yaitu bedah umum, bedah jantung, bedah toraks, dan bedah pembuluh darah ini. Layak disebut terkecil di dunia, karena RSA ini hanya berukuran panjang 23,5 m, lebar 6,55 m dan bobot mati 114 ton. Kapal terbagi atas tiga dek.
Dek atas untuk nakhoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan steril dan ruang operasi, sedangkan dek bawah adalah laboratorium. Meski sudah hampir tiga tahun berlayar, Lie masih menyebut aksi sosialnya ini sebuah “kegilaan”. Sebab, ternyata kapal ini hingga kini belum memiliki izin sebagai rumah sakit. Sudah ada upaya mengurusnya, tapi ternyata undang-undangnya malah belum ada.
Cap “gila” juga didapat dari para kolega Lie sesama dokter. Mungkin lantaran para dokter itu tahu, dana rumah sakit ini sangat terbatas. Apalagi dengan sebuah kapal kecil mereka berani berlayar sampai ke lautan di Indonesia Timur yang terkenal ganas. Namun terbukti hingga kini kapal masih terus berlayar dengan selamat. Malahan dalam waktu dekat akan ada dua penerus RSA ini yakni kapal Nusa Waluya I dan Nusa Waluya II.
Berdoa untuk menjadi dokter
Terlahir dengan nama Lie Tek Bie, pria kelahiran Padang 16 April 1946 ini sudah sejak kecil bercita-cita menjadi dokter. Sewaktu Lie kecil, selain belajar dengan tekun, setiap pukul 06.00 ia selalu pergi ke gereja di dekat sekolahnya. Di sana, ia berdoa dengan kata-kata yang sama dan diulang-ulang selama bertahun-tahun: Tuhan saya mau jadi dokter yang kuliah di Jerman.
Menginjak usia 21 tahun, Lie diterima di Fakultas Kedokteran Free University di Berlin Barat. Untuk membiayai kuliah dan kehidupannya, ia bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. Lie juga bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.
Sekalipun sibuk bekerja, Lie tetap berprestasi, sehingga ia mendapat beasiswa. Semua itu ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya. Pada 1974, ia berhasil mendapat gelar Medical Doctor. Pendidikan selanjutnya dilaluinya di University Hospital, Cologne, Jerman. Sementara gelar Ph.D-nya didapat di Free University Berlin. Semua pendidikan itu ditempuhnya selama sepuluh tahun.
Sumber : Intisari