KPK Beberkan 5 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
SERAMBIJAMBI.ID, JAKARTA – Pemberitaan tentang korupsi seakan tak pernah berhenti mewarnai layar kaca. Para terduga pelaku korupsi adalah oknum para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis. Lantas kita jadi bertanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar, semuanya sudah dimiliki, lalu kenapa masih saja korupsi?
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amir Arief membeberkan lima faktor penyebab terjadinya kasus tindak pidana korupsi menurut perspektif fraud pentagon.
Penyebab pertama yakni authority (kewenangan). Tentunya semua pelaku fraud (kecurangan) mempunyai kekuasaan, otoritas, atau kewenangan. “Maka antitesisnya adalah mengurangi authority tadi dengan pengawasan yang baik. Ada pengawasan dari media, mahasiswa, dan publik untuk mengurangi authority,” kata Amir melansir dari laman Itjen Kemendikbudristek
Amir menegaskan, tidak boleh ada kekuasaan yang terlalu absolut, harus ada pengawasan. “Di institusi, lembaga pasti ada Inspektorat Jenderal (Itjen). Sebagai tempat juga ada aparat pengawasan internal dan eksternal,” ujar Amir.
Sementara itu, penyebab kedua yakni terkait adanya arrogance (arogansi). Arogansi sendiri dikenal sebagai sikap superior atau keserakahan seseorang yang percaya bahwa pengendalian internal tidak berlaku terhadap pribadinya.
“Ada ketidak integritasan, ketidak moralan di situ. Ego dan supergonya tinggi. Kunci untuk mengatasinya adalah penguatan karakter baik dari keluarga, lingkungan, maupun komunitas,” terang Amir.
Penyebab ketiga yakni menyangkut pressure (tekanan). Penyebab yang satu ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. “Sering kali kejahatan korupsi itu karena tekanan di internal atau eksternal. Ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan kepentingan,” kata Amir.
Penyebab keempat adalah opportunity (kesempatan). Kejahatan bukan terjadi karena ada niat, melainkan ada kesempatan. Dalam kondisi ini, pengendalian yang lemah menyediakan kesempatan bagi seseorang untuk korupsi. Pemicunya bisa berasal dari tata kelola yang kurang baik dan birokrasi yang belum direformasi.
“Cara mengatasinya yaitu dengan memperbaiki tata kelola dan melakukan reformasi birokrasi yang digalakkan oleh teman-teman kementerian, staf presiden, dan inspektorat jenderal,” tutur Amir.
Terakhir, rationalization (rasionaliasi). Sikap pembenaran atas kecurangan yang sudah terjadi, lantaran tidak ingin perbuatannya diketahui oleh orang lain, sehingga dapat terbebas dari sanksi atau hukuman.
“Contohnya orang korupsi karena merasa gajinya kurang, atau merasa tindakan seperti itu sudah biasa bahkan terjadi sejak lama. Kemudian politisi yang mencari uang untuk menutup biaya politik yang tinggi. Itulah rasionalisasi,” jelas Amir.
Dari adanya lima faktor penyebab korupsi tersebut, Amir pun memberikan kiat strategi untuk mengatasinya.
“Pendekatan pertama adalah pendidikan atau edukasi. Tujuannya membentuk manusia agar jujur, membentuk para politisi supaya berintegritas. Dengan harapan membuat orang enggan melakukan kejahatan.
Kedua, pendekatan pencegahan dengan memperbaiki tata kelola, membenahi birokrasi, regulasi, dan sistem politik agar tidak berbiaya tinggi. Sehingga orang jadi tidak mampu melakukan korupsi karena ruang geraknya dibatasi.
Ketiga adalah pendekatan represif. Ditempuh apabila dua pendekatan sebelumnya tidak berhasil, maka mau tidak mau harus ditindak supaya orang jera melakukan kejahatan,” tutup Amir. (*)