Noveldi : RKUHP dan UU KPK Bentuk Pemerintah Membatasi Masyarakat
Noveldi : RKUHP dan UU KPK Bentuk Pemerintah Membatasi Masyarakat
SERAMBIJAMBI.ID, JAMBI – Ketua Umum LSM Reformasi untuk Keadilan (RUDAL) Noveldi Putra Pratama S.H menilai Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lepas dari sikap arogan para politikus di parlemen. Alih-alih mendengar suara rakyat, anggota DPR yang terlibat penyusunan RKUHP diduga hanya mengutamakan kepentingan sendiri.
RKUHP ini sendiri sebelumnya selesai dibahas pada Minggu (15/9) malam. Draf RKUHP ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan seharusnya pada 24 September kemarin, dan kita mesti bersyukur setidaknya pengesahan itu tertunda sesaat.
Meski demikian, masih terdapat sejumlah pasal yang menuai pro kontra di masyarakat.
“Itu sikap arogansi politikus, dia tidak menyadari eksistensi sebagai wakil rakyat yang mewakili dan punya kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya,” ujar noveldi saat di temui di kantornya beberapa waktu lalu.
Menurut Noveldi, kondisi ini tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya. Mereka dinilai tak bersikap bijaksana dan tak mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
“Saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level tingkatan,” katanya.
Noveldi menuturkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam RKUHP di antaranya tentang makar, persetubuhan di luar perkawinan, hingga penghinaan kepada presiden.
Pada poin persetubuhan di luar perkawinan dinilai Noveldi tak tepat karena sifatnya privat. Negara, kata dia, mestinya tak perlu terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk menjerat pihak yang melakukannya.
Sementara dalam pasal penghinaan kepada presiden menurut Noveldi tak lagi relevan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
“Apalagi ketentuan itu juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.” ucapnya.
Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
Selain pasal penghinaan presiden, sejumlah kelompok sipil juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196 dan 197, akhir-akhir ini, pasal itu dinilai anti-demokrasi.
Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 Noveldi juga berharap peristiwa reformasi 1998 tidak terulang kembali
Dan terkait tentang Revisi Undang-undang KPK. Noveldi mengatakan terdapat beberapa poin, yang dianggap berpotensi melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Poin poin itu kami pandang sangat beresiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini,” kata noveldi.
Sejumlah poin yang dianggap akan melemahkan KPK antara lain keberadaan Dewan Pengawas KPK, dilucutinya sejumlah kewenangan KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Oleh karena itu, Noveldi menganggap jika pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan ataupun pencegahan maka tidak dapat diyakini kebenarannya.
Selain itu, tim KPK juga mendapati ketidaksingkronan antar pasal, hingga menimbulkan tafsir yang beragam sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan.
“Hal inilah yang kami sampaikan sejak awal, jika proses penyusunan sebuah UU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar masukan instansi terkait seperti KPK dan tidak terburu-buru, maka beberapa resiko persoalan hukum ini bisa diminimalisir,” ujar Noveldi.
Noveldi juga mengatakan, KPK harus terus mendalami poin-poin di UU ini untuk melihat lebih jauh apa saja tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek kerusakan terhadap KPK ke depannya. (Syah)