Meneladani Kezuhudan dan Kejujuran Sang Khalifah
Oleh : Abd. Mukti, S.Ag
SERAMBIJAMBI.ID – Ketika menerima seorang tamu, sang khalifah ini tiba-tiba mematikan lampu yang menerangi ruangan tempat ia bekerja. Tentu saja sang tamunya terkejut. Setelah ditanyakan, ternyata sang Kepala Negara ini sedang lembur kerja dengan fasilitas lampu yang minyaknya dari uang kantor, alias uang rakyat. Sementara, tamu yang diterimanya hanya untuk urusan pribadi bukan urusan kantor. Urusan pribadi tidak boleh difasilitasi dengan uang negara. Itulah sepenggal kisah zuhud dan kejujuran dari seorang Kepala Negara (Khalifah) yang tercatat dengan ‘tinta emas’ dalam sejarah politik Umat Islam.
Seorang Kepala Negara yang memiliki kepribadian sebagai seorang pemimpin sejati, sebagaimana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw (shidiq, amanah, fathonah dan tabligh). Sang Khalifah itu tiada lain adalah Umar bin Abdul Aziz r.a., salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Anak Gubernur Mesir (Abdul Aziz), dan cucu dari Khalifah Umar bin al-Khathhab r.a. Selain dikenal kashalihan pribadinya, ia juga memiliki keshalihan sosial yang luar biasa. M.Amin Rais menyebutnya sebagai seorang yang memiliki semangat ‘tauhid sosial’. Manusia langka yang kini dan masa-masa selanjutnya sangat dirindukan dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia tercinta ini.
Pola hidupnya relatif sama dengan rakyat kelas menengah ke bawah. Ia tidak pernah membangun rumah dan menyediakan fasilitas pribadinya dengan biaya Negara, padahal sebagai seorang Kepala Negara, ia memiliki hak untuk difasilitasi oleh Negara. Bahkan, ia menolak pengawalan khusus, karena keinginannya untuk senantiasa dekat dengan rakyatnya. Kalaulah ia menjadi Khalifah sekarang, tentu ia tidak akan minta difasilitasi mobil mewah, istana mewah dan tidak akan minta istananya dipagari dengan biaya milyaran rupiah.
Sebelum menjabat sebagai Khalifah, dikatakan oleh sejarawan Muslim, pendapatan pribadi pertahunnya berkisar 50.000 dinar, tetapi begitu ia terpilih menjadi Khalifah, segera ia lelang semua kekayaannya dan ia serahkan ke Baitul Mal (Kas Negara), hingga pendapatan pribadinya (pertahun) merosot menjadi 200 dinar. Sebuah perbandingan yang sangat mencolok. Akibatnya, semasa menjabat menjadi Khalifah, ia tidak bisa menabung seperti ketika dirinya menjadi bagian dari rakyat biasa, apalagi berinvestasi di berbagai bidang usaha yang lazim dilakukan oleh para pejabat di zaman ‘edan’ ini.
Umar sang khalifah hanya meninggalkan 17 dinar saat ia wafat. Sejumlah harta peninggalan yang terlalu kecil untuk ukuran seorang Kepala Negara. Karena uang sejumlah itu bisa dimiliki oleh hampir semua orang kala itu. Ia masih mengiringinya dengan wasiat agar sebagian harta peninggalannya digunakan untuk membayar sewa rumah (tempat tinggalnya hingga ia berpulang ke rahmatullah), dan sebagian lagi untuk membeli tanah pemakamannya. Dan, perlu diketahui, Umar wafat dalam usia belia, 36 tahun, bukan di Istana Negara, tetapi di tempat ia berkhidmad untuk lebih dekat dengan rakyatnya, di kota kecil Darus Siman, dekat Hims.
Sebagai seorang pejabat nomor satu di negerinya, Umar dikenal sebagai pejabat ‘anti hadiah’. Hal ini pernah dibuktikan oleh kerabat dekatnya dan orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaannya. Suatu hari ada seseorang yang berkeinginan untuk menghadiahkan sekeranjang buah apel kepadanya, dan secara spontan, Umar pun menolaknya. Namun orang tersebut berusaha untuk merayunya, dengan menyebut contoh konkretnya, bahwa Nabi Muhammad saw pernah diberi hadiah oleh seseorang dan beliaupun mau menerimanya.
Namun kata Umar, “Memang hadiah itu pantas untuk Nabi saw tetapi tidak pantas untukku”. Oleh karenanya, ia tegaskan kepada pemberi hadiah tersebut : “Bagiku itu namanya suap”. Dan, oleh karenanya, “bawalah pulang hadiah itu”. Dengan maksud agar dirinya tidak terpengaruh oleh hadiah itu ketika mengambil kebijakan apa pun (sebagai seorang Kepala Negara), kapanpun dimana pun dan untuk siapa pun.
Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat hanya 3 tahun (99-102 H/ 818-820 M), rakyatnya terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil mensejahterahkan rakyatnya. Kemakmuran dan keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh rakyatnya, sehingga untuk mendistribusikan zakat sangat sulit menemukan mustahiqnya. Dan, walaupun semua pegawai dan pengeluaran rutin telah dibayarkan semuanya, tetapi uang di Baitul Mal masih cukup banyak.
Meski rakyatnya makmur, seperti halnya kakeknya (Umar bin al-Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul Aziz tetap hidup sederhana, jujur dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat khalifah, beliau menjual semua kekayaannya seharga 23.000 dinar (hampir Rp.20 milyar), lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Kas Negara (Al-Baghdad, 1987).
Kisah-kisah mengenai sikap dan kebijakan Sang Khalifah yang zuhud ini, menjadikan diri kita semakin rindu terhadap kehadirannya di tengah-tengah kita. Di tengah-tengah keramaian orang-orang yang selalu mempromosikan dirinya sebagai orang “paling layak” sebagai calon pemimpin di setiap perhelatan pemilihan calon pemimpin. Kita selalu merindukan “ sikap dan kebijakan ala Umar bin Abdul Aziz “pada suatu saat menjadi sebuah kenyataan di negeri kita tercinta ini. Sebuah sikap dan kebijakan yang menjanjikan terciptanya Good Governance and Clean Government.
Rakyat sangat merindukan munculnya seorang pemimpin, baik tingkat daerah maupun nasional, yang kezuhudan dan kejujurannya tidak jauh dengan Umar bin Abdul Aziz ini. Pemimpin yang siap berkhidmad melayani umat. Bukan pemimpin yang minta dilayani umat. Pemimpin yang siap melindungi aqidah umat, bukan pemimpin yang memurtadkan umat.
Pertanyaannya sekarang, masih adakah Umar-Umar yang lain di negeri ini? Siapa, kapan dan dimana orang itu berada? Dan, adakah pemimpin di dunia saat ini seperti para Khalifah pada masa lalu yang mampu mensejahterahkan seluruh rakyatnya tanpa kecuali? Adakah pula negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis-juga sosialis-saat ini seperti sistem khilafah pada masa lalu yang mampu meratakan kesejahteraan kepada semua warganya tanpa seorang pun yang miskin? Tidak ada !
Jadi, masihkah kita ragu dengan sistem Islam dan malah tetap percaya pada sistem kapitalisme-juga-sosialisme- yang nyata telah gagal menciptakan sekaligus meratakan kesejahteraan bagi umat manusia ? Wal ‘iyadzu billahi.
* Penulis : Pemerhati Sosial Keagamaan.