Ini Dia 12 Modus Korupsi Dana Desa Versi Indonesian Corruption Watch
SERAMBIJAMBI.ID – Hingga akhir 2017 lalu sudah 900 kepala desa bermasalah dengan hukum karena masalah dana desa. Sebagian diantaranya terpaksa menghadapi jeruji besi akibat penyalahgunaan dana desa. Jumlah ini disinyalir bakal terus meningkat mengingat sulitnya mengawasi 74 ribu lebih desa di seluruh Indonesia. Di lain sisi, masih banyak perangkat desa yang tidak memahami sistem pelaporan dana desa sesuai dengan aturan.
Dari jumlah itu diduga penyalahgunaan dana desa akibat korupsi adalah yang paling banyak terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai, modus korupsi dana desa sebenarnya memiliki pola yang sama seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark up anggaran, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi adalah beberapa pola yang banyak dilakukan. Lemahnya pengawasan adalah salah satu penyebab suburnya korupsi dana desa.
Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan tentang praktik korupsi penggunaan dana yang ditangani pada 2016 hingga 10 Agustus 2017. Dari hasil pemantauan ICW, terdapat sedikitnya 110 kasus korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 orang pelaku. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sedikitnya Rp 30 miliar. Terjadi peningkatan jumlah kerugian korupsi dana desa pada 2017 (Hingga Agustus) yakni 19,6 miliar rupiah, sementara pada tahun 2016 mencapai angka 10,4 miliar rupiah.
Dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa. Aktor lain yaitu 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 tersangka. Banyaknya jumlah Kepala Desa yang menjadi tersangka menunjukkan bahwa banyak kepala desa yang tidak melaksanakan kewajiban kepala desa sebagaimana diatur dalam UU Desa. Pasal 26 ayat (4) UU tersebut menyebutkan bahwa Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Dari pantauan ICW, teridentifikasi tujuh bentuk korupsi yang umumnya dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up, laporan fiktif, pemotongan anggaran dan suap. Tujuh bentuk korupsi tersebut menunjukkan terdapat lima titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa.
Lima titik rawan tersebut ada pada :
1. proses perencanaan;
2. proses pertanggungjawaban;
3. proses monitoring dan evaluasi;
4. proses pelaksanaan; dan
5. proses pengadaan baranng dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.
Ada 12 modus korupsi dana desa yang disimpukan ICW berdasarkan penelitiannya. Modus itu antara lain :
1. Membuat Rancangan Anggaran Biaya di atas harga pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan.
4. Pungutan atau Pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.
5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya.
6. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran honorarium perangkat desa.
7. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran Alat tulis kantor.
8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.
9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa.
11. Melakukan permainan (Kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Faktor penyebab korupsi dana desa beragam. Faktor paling mendasar adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan pada praktiknya banyak dibatasi. Padahal, pasal 68 UU Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa. Pelibatan masyarakat ini menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa lah yang mengetahui kebutuhan desa dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.
Faktor kedua adalah terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa, dan penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.
Faktor ketiga adalah tidak optimalnya lembaga-lembaga desa yang baik secara langsung maupun tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lainnya.
Faktor keempat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit cost politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa. Meningkatnya anggaran desa disertai dengan meningkatnya minat banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda dan komitmen membangun desa.
Selain hasil pemantuan ICW, data dari pihak Kementerian Desa dan KPK pun semakin menunjukkan bagaimana maraknya penyalahgunaan dana desa. Kementerian Desa telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa. Sebanyak 60 laporan penyelewengan dana desa telah diserahkan kepada KPK. Data KPK menyebutkan sejak Januari – Juni 2017, KPK sudah menerima 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa. (*)
Sumber : Indonesian Corruption Watch