KKSR Sebut SMB Selalu Gunakan SAD sebagai Tameng Kejahatan

0

KKSR Sebut SMB Selalu Gunakan SAD sebagai Tameng Kejahatan

SERAMBIJAMBI.ID, JAMBI – Kelompok Kerja Sosial Regional (KKSR) menegaskan bahwa kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) dalam menjalankan kegiatannya selalu menggunakan Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba sebagai ‘tameng’ dalam melakukan tindakan kejahatan atau kriminalitas

Juru bicara KKSR, Musri Nauli di Jambi, Kamis (25/7/2019) mengatakan, hasil penilaian dan Diskusi Grup Terfokus yang mereka lakukan sepuluh bulan lalu bahwa kelompok SMB ini selalu menggunakan orang rimba atau SAD sebagai tameng dalam melakukan tindak kejahatannya agar perbuatannya tidak dikenakan sanksi atau pelanggaran hukum di Jambi selama ini.

Hal ini yang terjadi saat ini pada kelompok SMB untuk merebut atau mengusai lahan di beberapa daerah atau Kabupaten di Provinsi Jambi sehingga munculnya konflik lahan tersebut.

”Menurut keterangan dari tumenggung Tupang dan Apung, kelompok sanak ini di provokasi oleh kelompok Muslim untuk dijadikan tameng bagi aksinya,” ujarnya.

BACA JUGA :

Lanjutnya, Peristiwa pendudukan lahan yang dilakukan oleh Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di areal kawasan Hutan Desa Belanti Jaya, membuka tabir konflik yang terjadi. Konflik bermula dengan terbitnya HTR Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 3.1242 ha yang mengakibatkan gejolak sosial di lapangan.

Menurutnya, masyarakat dari Desa Mersam, Maro Sebo Ulu dan Muara Tembesi yang tergabung didalam organisasi SMB merasa diperlakukan secara tidak adil dan menimbulkan kecemburuan setelah terbitnya SK HTR oleh KLHK. Penolakan atas perlakukan yang dirasakan tidak adil tersebut dicerminkan lewat berbagai aksi yang pada akhirnya berujung pada pendudukan lahan tersebut yang masih berlangsung hingga sekarang.

Namun disisi lain, aksi pendudukan lahan tersebut kemudian memacu pula protes dari kelompok warga lainnya yang tergabung didalam kelompok tani (Gapoktan), perangkat Desa serta Camat. Protes dan keberatan tersebut disampaikan sebagai bentuk reaksi atas terbitnya HTR oleh KLHK.

Problema semakin rumit ketika proses mediasi belum selesai dilakukan atas beberapa kelompok Sanak telah pula diseret masuk kedalam areal ini oleh SMB. SMB bersikukuh mendorong areal ini untuk mengubah peruntukannya menjadi areal program Trans Swakarsa Mandiri (TSM) tanpa mengindahkan aturan maupun mekanisme dan ketentuan terkait hak pengeleloaan atas kawasan hutan.

Memperhatikan peliknya dan banyaknya para pihak terkait dalam permasalahan ini dan guna dapat mencermati, mengkaji dan menganilis apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan maka, perlu dilakukan penelusuran yang mendalam terhadap persoalan ini secara utuh dengan menggali langsung informasi dan data kepada para pihak diatas tentang dasar klaim dan hak atas klaimnya serta para aktor yang terlibat.

“Hal ini menjadi penting agar dapat melihat permasalahan ini secara utuh pula sehingga bisa menjadi dasar pertimbangan untuk mengupayakan pemecahan masalahnya dengan tepat baik itu ditingkat masyarakat, pemerintah maupun swasta,” katanya.

Sambungnya, Sanak tidak dapat dilepaskan dari wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas. Sebagai wilayah yang kemudian dikenal sebagai Taman Nasional Bukit dua belas maka wilayah ini dikenal sebagai wilayah Marga Air Hitam. Sehingga hubungan kekerabatan antara Sanak dengan Marga Air Hitam tidak dapat dilepaskan.

Selain itu, adanya hubungan social antara wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas. Hubungan ini didasarkan jaringan social yang lama, interaksi yang panjang, hubungan personal maupun hubungan satu dengan yang lainnya. Diantaranya Batin 24, Marga Maro Sebo Ulu, Marga Air Hitam, Marga Simpang III Pauh, Batin VIII Sarolangun, Marga Petajin Ilir, Marga Petajin Ulu dan Marga Tabir Ilir. Sedangkan Marga Kembang Paseban tidak dapat dilepaskan disebabkan wilayah yang menjadi basis klaim terutama di Desa Belanti Jaya termasuk kedalam Marga Kembang Paseban.

KKSR Jambi kemudian melakukan assessment terhadap Marga/Batin yang mengelilingi Marga Air hitam (kawasan yang terdapat di Taman Nasional Bukit 12). Assesment dilakukan sejak Juli 2018. Dengan menelusuri dari Batin 24, Marga Simpang III Pauh, Marga Air Hitam, Batin VIII-Sarolangun, Marga Petajin Ulu (sungai Keruh), Marga Petajin Ilir (Sungai Bengkal), Marga Marosebo Ulu (Sungai Rengas), Marga Tabir dan Marga Kembang Paseban (Mersam),” tandasnya (Syh)

Comments
Loading...