Antara Demokrasi dan Medsos, Kawan Atau Lawan ?
Oleh : Ahmad Hadziq (Komisioner KPU Kabupaten Tanjung Jabung Barat)
SERAMBIJAMBI.ID, OPINI – Fenomena perang medsos mulai mewarnai Pemilu serentak 2019 meskipun kampanye belum dimulai, terutama di daerah perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna medsos aktif. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan pengguna internet Indonesia yang mencapai angka 143,26 juta jiwa sebagaimana data hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jika di amati, seminggu terakhir pengguna medsos mulai ramai memperbincangkan tentang pertarungan politik jelang Pemilu serentak 2019. Terutama semakin terasa sejak KPU menetapkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif DPR dan DPRD bahkan saat hari terakhir pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden. Fenomena tersebut tentunya di satu sisi terasa positif jika dilihat dari respon masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap pemilu yang akan dilaksanakan. Namun sekaligus inipun bisa menjadi ancaman bagi demokrasi yang sehat manakala yang disuguhkan di medsos baik secara individu maupun kolektif semakin ekspresif dan reduksionis dalam berpikir dan semakin represif dan sinis dalam bertindak.
Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi juga terdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di sejumlah negara memanfaatkan media sosial untuk proses kampanye politik. Selain itu media ini dianggap mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya murah (“Aktor Politik Wajib Manfaatkan Media Sosial”, ugm.ac.id, 7 Juni 2013).
Studi di Amerika Serikat menunjukkan media sosial merupakan alat kampanye yang efektif. Sebelum era media sosial, politisi di Negeri Paman Sam sudah memanfaatkan internet untuk media berkampanye. (Chavez, 2012; Stietglitz & Dang Xuan, 2012).
Di Ghana, dua kandidat presiden menggunakan SMS dan Twitter untuk mendulang suara. Ini merupakan kali pertama media sosial digunakan untuk berkampanye di negara tersebut. Di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan websiteuntuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah berkuasa. Selain itu Lembaga Swadaya Masyarakat membentuk jaringan untuk memonitor pemungutan suara di 11 ribu bilik suara melalui SMS dan MMS. Hasilnya calon petahana (incumbent) Robert Mugabe kalah, tetapi intervensi Mugabe membuat Pemilu diulang dan dia menang (Riaz, 2010).
Media sosial sebagai bayi yang terlahir dari internet sejak awal telah tampil menjadi alat dan penentu seseorang untuk benar dan salah dalam dunia nyata maupun dunia maya. Benar dan salah memang abu-abu dalam media sosial, namun faktanya publik pun tidak diajak berpikir jernih dalam menyikapi permasalahan tersebut sehingga hanyut dalam pola diskusi yang tidak selesai. Pola dialektis tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warganet tidak berupaya mencari solusi atas suatu masalah, namun berupaya mencari vibrasi atas permasalahan tersebut.
Vibrasi itu pula yang pada akhirnya menjadikan solusi hanya terjadi dalam ruang monolog miskin dialog. Pada akhirnya yang menjadi masalah adalah baik melalui media sosial maupun juga ruang sosial, sosialisasi publik terhadap masalah itu hanya sekadar permisif. Munculnya identitas secara jelas memang memegang kunci tanpa ideologi dalam media sosial. Dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi dan pemilu bisa jadi vibrasi terhadap permasalahan di media sosial sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok elit tertentu di kalangan pengguna media sosial di sisi lain ada pula kelompok warganet yang terjebak dalam informasi yang di buat seolah-olah fakta. Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi dikarenakan pengguna media sosial tidak memiliki batas usia dan tingkat pendidikan yang beragam. Sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, internet menjadi berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh” demokrasi. Pertanyaan fundamental yang kemudian muncul adalah internet akan menjadi kawan atau lawan demokrasi?
Ada tiga aliran menanggapi pertanyaan itu yaitu pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran pertama tak yakin internet bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul internet akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem: mendorong sisi demokratis internet, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003)
Ketiga aliran tersebut terjadi karena memang internet memiliki sembilan karakteristik khusus. Bagi yang pesimistik internet bisa menjadi teman setia demokrasi karena internet memang memiliki kekuatan yang tidak terbendung serta meminimalisasi kontrol negara atas warganya. Sedangkan bagi kelompok yang optimis justru melihat bahwa internet mampu menembus batas fisik, memperluas akses edukasi politik sehingga mampu memaksa pemerintah untuk lebih demokrastis. Namun yang lebih bijak tentunya kelompok yang menilai tidak hanya pada satu sisi, namun di balik pengakuan bahwa internet mampu mendorong sisi demokratis tapi juga harus di akui bahwa perkembangan internet bisa menjadi ancaman karena sifatnya yang cenderung nirkontrol dan lintas batas.
Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan. Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi manfaat lainnya (Simon: 2003).
Pentingnya internet sebagai alat dalam kemajuan demokrasi kita juga disadari oleh penyelenggara pemilu. Undang-undang pemilu memberi ruang bagi internet dan media sosial dalam pelaksanaan pemilu di negara kita. Sebagaimana yang tergambar dalam UU Pemilu No. 7/2017 pasal 275 salah satu metode kampanye yang bisa dilakukan melalui media sosial dan iklan di internet. Hal serupa juga di atur dalam Peraturan KPU No. 23 pasal 23 ayat (1) huruf e. Bahkan lebih spesifik lagi pada pasal 35 mengatur tentang materi dan desain yang minimal harus memuat visi, misi serta program sampai pada akun yang harus didaftarkan sebanyak-banyaknya 10 akun di setiap jenis aplikasi. Dalam pasal 24 PKPU tersebut, penggunaan media sosial sebagai metode kampanye baru boleh dilakukan setelah 3 hari penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD prov dan DPRD dan setelah ditetapkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dimulainya masa tenang. Jika berdasarkan PKPU No. 5/2018 tentang jadwal dan tahapan menerangkan jadwal penetapan Daftar Calon Tetap pada tanggal 20 September 2018, maka kampanye melalui media sosial baru bisa dilakukan mulai tanggal 23 september 2018 hingga 13 April 2019.
Kampanye Pemilu yang selanjutnya disebut Kampanye merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Media Sosial disediakan sebagai alat untuk saluran komunikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk interaksi dan berbagi konten berbasis komunitas. Aturan tersebut tentunya sebagai upaya untuk menjadikan internet dan media sosial sebagai teman setia dalam mewujudkan edukasi politik dan kemajuan demokrasi. Namun jika tidak di barengi dengan pengawasan dan kesadaran oleh semua pihak, internet dan media sosial justru menjadi lawan demokrasi kita karena sangat memungkinkan berkembang diluar tatanan dan aturan yang ada. Karenanya perlu duduk bersama antara penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bersama peserta pemilu dan admin-admin media sosial untuk membuat komitmen bersama mengawasi penyebaran akun-akun yang memanfaatkan media sosial untuk merusak demokrasi yang kita inginkan. (*)